Minggu, 20 November 2011

Wajah Sudah Berubah (repost karena pengen ngehik)

Wajah Sudah Berubah (repost karena pengen ngehik)
By Duanto A Sudrajat

Mengendarai sepeda motor tua, sekitar pukul 22.00 saya bersama seorang teman bergegas mencari hik angkringan di kawasan barat Solo. Suasana kemarin malam cukup nyaman untuk menikmati segelas kopi, wedang jahe atau wedang ketan panas sembari sesekali menyantap tahu, sundukan usus atau kikil yang dibakar. Kebiasaan nongkrong saat malam seperti ini sulit dihilangkan.

Pak Pekok, nama wedangan yang kami tongkrongi. Uang Rp 7.500 membawa saya dan ahli tata kota spesialis sastra apa aja ini bicara ngalor ngidul. Obrolan seharga santapan ringan nan hangat mengangkat kekaguman kami yang selama lebih dari setahun tidak menapakkan kaki di jalanan kota kelahiran.

Seperti biasa, obrolan diawali seputaran kabar teman-teman, pengalaman hidup, bangunan baru yang berdiri, perubahan tata ruang sampai tingkah polah sekelompok anak muda yang kebetulan saat itu nongkrong ditikar depan. Obrolan ga jelas, dari Thomas Karsten, Hegel, Hannah Arendt, Jalaludin Rumi, Thomas Aquinas, Sang Budha sampai Freud diaduk jadi satu dengan minuman dan santapan hangat, yang bisa jadi merupakan manifestasi kerinduan nongkrong dan berpikir liar. Yah....paling tidak selama beberapa waktu bola pikir liar orang-orang seteres mendapat kanal. Karena dalam hitungan hari, apabila tidak ada kanalisasi seperti ini obat penumbuh rambut bakal laris. Itu sebabnya banyak orang seteres, setidaknya satu orang yaitu si penulis note ini tidak membesar seteres.

Dalam hitungan dua jam, dua angkringan telah kami tongkrongi, pertama Pak Pekok, kali kedua Kidjo. Celana pendek, baju flanel dan jaket hijau tentara serta sandal jepit yang kami pakai identik dengan cara makan ketika digerobak angkringan. Dengan santai, kaki diangkat ke kursi sementara tangan garuk-garuk kepala. Hahahaha ini memang ciri khas angkringan....asli...

Sadar tidak sadar, selama di angkringan ternyata mata saya menatap bangunan tinggi sebelah timur Lapangan Kota Barat (Kobar), apartemen bermerek Paragon berdiri kaku, kerlip lampu di sekeliling nya membentuk seperti apa rupa tempat tinggal mahal ini.

Bersama teman pengagum pagan ini, perjalanan berlanjut, menyusur Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota yang membujur barat ke timur.

Badak kingkong.....ternyata kota ini telah berubah, wajahnya telah dipermak abiiiis. Dinding jalan setahun ini rupanya telah diisi banyak bangunan baru.....begitu pula papan iklan yang aduhai jumlahnya, yang menutup hampir 3/4 lebar jalan. Sangar tenan pokokmen.....asli ndes....sangar-sangar gambare....

Sik tulisan saya stop dulu karena saya ngantuk....besok kalau ingat saya lanjutkan lagi deh...

Solo, 28/12/10, 02.00

Jumat, 23 September 2011

Nurdin Halid 'nyasar' Walminthi

Nurdin Halid 'nyasar' Walminthi

Mengendarai sedan Accord putih keluaran 2011, kemarin sore 'nyaris' Ketua PSSI Nurdin Halid melarikan diri dari kediamannya. Bersama supir pribadi, hampir setengah hari Nurdin berputar-putar di Bundaran HI lantaran hampir seluruh jalan ibukota diblokir ribuan pendemo yang menuntut mundur dirinya.
Beberapa jam mencari jalan keluar, akhirnya sedan putihnya berhasil mendapat jalan keluar, menyusur jalan kampung. Masuk sebuah gang tikus, si sopir tiba-tiba menginjak rem, otomatis Nurdin kaget. Mobil koruptor proyek impor gula dan beras ini nyaris menabrak Sapi.
Dua detik kemudian, kap depan mobilnya langsung digebrak Sapi. Serentetan kata langsung mengalir deras dari mulut.

"Taruh dimana matamu, ga liat orang nyebrang jalan po?!" teriak Sapi sambil berkacak pinggang sembari menggebrak kap mobil dengan kaki depannya.

Tak terima diteriaki, Nurdin bergegas keluar dan menantang berkelahi Sapi. Tangannya langsung menunjuk-nunjuk kepala Sapi sambil teriak-teriak ga jelas.

Mengetahui si pelaku 'nyaris' tabrak lari adalah daftar TO pecinta sepakbola se-Tanah Air, Sapi langsung gembira.

"Ini dia Nurdin si biang kerok sepakbola, awas kau," kata Sapi.

Segera dipanggil teman-temannya untuk menangkap. Selang dua menit, Semut, Kucing, Anjing, dan Tapir pun datang. Nurdin ketakutan melihat rombongan ini datang, segera dirinya berbaik sapa karena takut kena toyor.

"Ampun bapak-bapak. Saya jangan dimassa," katanya memelas.

"Siapa yang mau mukulin anda. Kami mau ajak anda ke Walminthi," kata Semut.

"Disana kita main petak umpet, tempatnya aman. Tidak ada demonstrasi," imbuh Tapir.

Membaca situasi Jakarta dan kota-kota besar yang tidak kondusif lagi untuknya, segera diterima ajakan ke Walminthi. Bertujuh mereka masuk dalam sedan Accord putih, meluncur menyusur jalan yang tidak banyak diketahui orang.

*besok nyambung lagi ya...