Ya dan Begitulan Angso Duo
Berjalan di jalur yang becek tidak selamanya tidak akan menyenangkan, tentu ada banyak pengalaman ditemui di sana. Tanpa alas kaki atau menggunakan alas kaki seadanya bukan menjadi alasan tidak melangkahkan kaki.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya Senin (9/8/10) saya berjalan-jalan disebuah pasar tradisional terbesar di Kota Jambi. Masyarakat Tanah Pilih Pusako Betuah biasa menyebutnya dengan nama Angso Duo atau pasar tanah timbun, sebuah pasar ber-areal luas, yang menjadi pasar induk bagi barang-barang pertanian dari daerah atau kabupaten dan tempat hidup sekitar 5.500 pedagang.
Letak pasar sangat strategis, di pinggir sungai Batanghari yang notabene sungai terbesar di Provinsi Jambi dan terpanjang di pulau Sumatera. Kawasan pasar ini bisa dikatakan sebagai nadi perekonomian masyarakat, dengan pembuluh dan aliran darahnya dari dan ke kabupaten- kabupaten. Sebuah simbiosis mutualis antara kota dan desa dibangun di tempat ini.
Menurut cerita seorang sejarawan Jambi, Junaidi T Noor kepada saya, sewaktu masih berupa pelabuhan kecil daerah ini adalah embrio perekonomian kota. Bangunan ekonomi Jambi menurut dia dibangun dari sebuah pelabuhan kecil, jaman dahulu digunakan sebagai jalur perdagangan sebelum akhirnya jembatan Batanghari I dan II mengikis fungsinya.
"Sisa-sisanya pelabuhan lama masih ada. Ada boom batu disana," ujar Junaidi.
Boom batu dalam bahasa Belanda adalah pelabuhan yang dibuat dari batu. Sampai saat ini sisa-sisa bangunan yang dibangun sekitar tahun 1920-an masih ada, namun nasibnya rupanya tidak cukup beruntung. Sebuah bangunan ber 'judul' Wiltop Center atau masyarakat Jambi populer menyebutnya WTC menindihnya tanpa adab. Bangunan WTC ini berdiri tepat diatas boom batu. (bagi saya itu bisa dikatakan kekerasan modal terhadap sejarah dan budaya).
"Sebagai catatan, aktivitas perdagangan pelabuhan dahulu didominasi oleh hasil bumi asli Jambi"
Saya kira cukup sekian cerita saya mengenai kawasan itu. Oiya....ada satu lagi dibawah WTC terdapat ruang aktivitas, diantara pilar-pilar pondasi gedung kita bisa melempar kail dan menunggu ikan baung atau gabus menyambar umpan kita.
******Hari itu Senin, sekitar pukul 10.20 saya berjalan masuk lorong pasar yang sempit dan becek tanahnya. Dari situ seorang teman membawa kabar, bukan buruk, pun bukan baik. Sebuah cerita mengenai pasar Angso Duo yang memberi 'hidup' seorang anak kecil yang tidak selesai mengenyam pendidikan dasar.
"Itu tadi siapa bang ramai nian," tanya dia.
Sebuah suara anak kecil mengagetkan saya ketika sedang melihat-lihat ikan. Saat itu mataku tak menangkap tubuh seorang anak kecil pun. Aku memicingkan mata mencoba menangkap ruang di sekelilin dan dahi tibat-tiba panas. Saya pikir mana ada ikan yang bisa ngomong.
Sekitar dua detik sebuah plastik hitam muncul dari bawah meja penjual ikan disamping. Tak berapa lama sebuah tubuh utuh muncul dengan tas plastik hitam di tangan kanan. Rambut jabrik dan kulit coklat matangnya rupanya cukup menyulitkan mata menangkap bayangan manusia di bawah meja.
Dengan segera saya lontarkan pertanyaan reflek, ngapain kamu disitu?
Sambil menunjukkan kantung plastik hitam anak kecil bernama Bambang ini menjawab dirinya sedang mencari ikan. (saat itu saya pikir dirinya adalah anak pedagang ikan, namun ternyata salah).
Tak berapa lama matanya langsung menelusup ke kolong meja dan selokan kecil yang berada dibawahnya. Tanpa memperhatikan sekeliling si Bambag kecil berjalan perlahan, perhatiannya tetap tertuju pada selokan-selokan dibawah meja.
Karena penasaran, selama sekitar tiga menit mata saya mengikuti gerak bocah ini. Tiba-tiba dirinya membungkuk, dengan cekatan tangan kirinya bergerak menyambar sebuah benda terselip diantara lumpur selokan. Saat itu dalam otakku cuma berpikir awas juga mata bocah ini, tangannya pun cekatan bergerak. Dapatkah ikan, tanyaku sembari melihat tanganya.
"Ado satu, bang," katanya dengan nada gembira sembari menunjukka ikan, Menurut saya ikan tersebut jenisnya sepat karena berwarna abu-abu.
Kamu apakan nanti itu ikannya, tanyaku kepada bocah ini. Pertanyaanku dijawabnya dengan cuek, si anak ini bilang kalau setelah dapat cukup banyak kalau ada yang mau membeli akan dijualnya, namun bisa juga nanti dimasak di rumah. (rupanya dirinya tidak punya kesibukan lain selain mencari ikan)
Beberapa detik kemudian saya terhenyak, tersadar bahwa ini adalah hari Senin, itu adalah hari sekolah. Seketika itu juga saya tanyakan kepadanya apakah dia bolos? Dengan santai dijawabnya kalau dirinya tidak masuk sekolah. Hanya jawaban singkat tanpa embel-embel alasan apapun.
Pertanyaan tambahan muncul dari mulut saya, kenapa tidak masuk. Dengan santai juga di sedang cari ikan, lalu dijawabnya juga kalau dirinya tidak lagi bisa sekolah. Saat itu sebungkus rokok kusodorkan kepadanya sambil menyuruhnya mengambil sebagian.
"Kami idak merokok, bang," katanya sambil mendorong tanganku kebelakang. Saya pikir benar juga dia, cukup kecil untuk menikmati tembakau hisap ini.
Dalam ceritanya kepada saya, bocah bertempat tinggal di RT 31 Pulau Pandan, daerah yang letaknya cukup jauh dari kawasan pasar ini berhenti sekolah akibat SD-nya digusur kemudian akan digunakan untuk sebuah komplek peristirahatan elite di Kota Jambi bernama Abadi Hotel. Sebuah sekolah bernama SDN 81 yang pada tahun 2009 digusur untuk kepentingan bisnis.
"Kami berhenti (sekolah) kelas lima, bang," ujarnya santai tanpa beban pikir. Sambil terus berjalan menyusur lorong pasar yang sempit saya mengikuti aktivitas Bambang mencari ikan yang lepas di selokan pasar.
Saya hanya bisa menghela diam begitu mendengar jawaban itu kemudian berpikir apa hanya ada satu anak saja dipasar ini. Tapi ternyata tidak, dilorong bagian lain beberapa anak juga tampak mondar-mandir menunggu ikan yang lepas dari kotak pedagang ikan.
"Ini hanya bagian dari cerita 10 menit berjalan di lorong Pasar Angso Duo"(saat itu bersamaan rombongan wakil Gubernur Jambi sedang berjalan melihat kondisi pasar, beruntunglah dirinya tidak bertemu dengan bocah ini, karena kalau bertemu dan melontarkan pertanyaan yang sama kepadanya, bisa jadi saat itu Kadisdik bisa lansung dicopot)
Bagi saya kebutuhan orang bukan hanya bisa membaca atau menulis saja, diluar itu manusia butuh pengetahuan lainnya. Sebuah pertanyaan muncul dari sini!!! (dalam kisah Yunani kuno banyak juga yang mencoba membongkar dunia pendidikan)
Kalau kita mau melihat kulit luar lagi dalam kondisi kontekstual dan pragmatis atau dalam bahasa populernya kepentingan praktis, tentu berada pada posisi tidak lulus sekolah dasar sangat menyulitkan untuk seorang untuk mendapat kehidupan layak. Namun kalau melihat dalam peta permasalahan lebih luas, sudah barang pasti permasalahan struktural pendidikan bisa dibongkar disini. Perihal masalah bagaimana adik kita ini bisa berada dalam posisi yang tidak diuntungkan.
Jaman telah berubah, permasalahan tersebutb kemudian harus dibongkar strukturalis untuk kepentingan praktisnya (setidaknya untuk saat ini, *tapi kalau teman-teman tidak sependapat silakan untuk berargumentasi). Sekali lagi untuk kepentingan praktis harus dibongkar secara strukturalis, hehehehe
Pergeseran sudah terjadi, hubungan sosial manusia saat ini terbentuk karena hubungan yang struktural, dan itu 'mungkin' yang bisa dilihat saat ini. (belum terpikir oleh saya bagaimana perspektif budaya menjawab ini)
Dalam pikiran saya sebanarnya hanya sederhana saja, bagaimana adik kita ini mendapat pendidikan yang cukup layak.
Oiya....satu lagi cerita saya sempat bertemu beberapa anak di sebuah sekolah di Kota Jambi. Anak-anak ini ketika pagi hari berjualan asongan, pempek serta menjadi pengumpul rosok, kemudian siangnya masuk sekolah.
Yah....dan begitulah sekolah kehidupan.........
Jambi, 12 Agustus '10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar