Wajah Sudah Berubah (repost karena pengen ngehik)
By Duanto A Sudrajat
Mengendarai sepeda motor tua, sekitar pukul 22.00 saya bersama seorang teman bergegas mencari hik angkringan di kawasan barat Solo. Suasana kemarin malam cukup nyaman untuk menikmati segelas kopi, wedang jahe atau wedang ketan panas sembari sesekali menyantap tahu, sundukan usus atau kikil yang dibakar. Kebiasaan nongkrong saat malam seperti ini sulit dihilangkan.
Pak Pekok, nama wedangan yang kami tongkrongi. Uang Rp 7.500 membawa saya dan ahli tata kota spesialis sastra apa aja ini bicara ngalor ngidul. Obrolan seharga santapan ringan nan hangat mengangkat kekaguman kami yang selama lebih dari setahun tidak menapakkan kaki di jalanan kota kelahiran.
Seperti biasa, obrolan diawali seputaran kabar teman-teman, pengalaman hidup, bangunan baru yang berdiri, perubahan tata ruang sampai tingkah polah sekelompok anak muda yang kebetulan saat itu nongkrong ditikar depan. Obrolan ga jelas, dari Thomas Karsten, Hegel, Hannah Arendt, Jalaludin Rumi, Thomas Aquinas, Sang Budha sampai Freud diaduk jadi satu dengan minuman dan santapan hangat, yang bisa jadi merupakan manifestasi kerinduan nongkrong dan berpikir liar. Yah....paling tidak selama beberapa waktu bola pikir liar orang-orang seteres mendapat kanal. Karena dalam hitungan hari, apabila tidak ada kanalisasi seperti ini obat penumbuh rambut bakal laris. Itu sebabnya banyak orang seteres, setidaknya satu orang yaitu si penulis note ini tidak membesar seteres.
Dalam hitungan dua jam, dua angkringan telah kami tongkrongi, pertama Pak Pekok, kali kedua Kidjo. Celana pendek, baju flanel dan jaket hijau tentara serta sandal jepit yang kami pakai identik dengan cara makan ketika digerobak angkringan. Dengan santai, kaki diangkat ke kursi sementara tangan garuk-garuk kepala. Hahahaha ini memang ciri khas angkringan....asli...
Sadar tidak sadar, selama di angkringan ternyata mata saya menatap bangunan tinggi sebelah timur Lapangan Kota Barat (Kobar), apartemen bermerek Paragon berdiri kaku, kerlip lampu di sekeliling nya membentuk seperti apa rupa tempat tinggal mahal ini.
Bersama teman pengagum pagan ini, perjalanan berlanjut, menyusur Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota yang membujur barat ke timur.
Badak kingkong.....ternyata kota ini telah berubah, wajahnya telah dipermak abiiiis. Dinding jalan setahun ini rupanya telah diisi banyak bangunan baru.....begitu pula papan iklan yang aduhai jumlahnya, yang menutup hampir 3/4 lebar jalan. Sangar tenan pokokmen.....asli ndes....sangar-sangar gambare....
Sik tulisan saya stop dulu karena saya ngantuk....besok kalau ingat saya lanjutkan lagi deh...
Solo, 28/12/10, 02.00
Minggu, 20 November 2011
Jumat, 23 September 2011
Nurdin Halid 'nyasar' Walminthi
Nurdin Halid 'nyasar' Walminthi
Mengendarai sedan Accord putih keluaran 2011, kemarin sore 'nyaris' Ketua PSSI Nurdin Halid melarikan diri dari kediamannya. Bersama supir pribadi, hampir setengah hari Nurdin berputar-putar di Bundaran HI lantaran hampir seluruh jalan ibukota diblokir ribuan pendemo yang menuntut mundur dirinya.
Beberapa jam mencari jalan keluar, akhirnya sedan putihnya berhasil mendapat jalan keluar, menyusur jalan kampung. Masuk sebuah gang tikus, si sopir tiba-tiba menginjak rem, otomatis Nurdin kaget. Mobil koruptor proyek impor gula dan beras ini nyaris menabrak Sapi.
Dua detik kemudian, kap depan mobilnya langsung digebrak Sapi. Serentetan kata langsung mengalir deras dari mulut.
"Taruh dimana matamu, ga liat orang nyebrang jalan po?!" teriak Sapi sambil berkacak pinggang sembari menggebrak kap mobil dengan kaki depannya.
Tak terima diteriaki, Nurdin bergegas keluar dan menantang berkelahi Sapi. Tangannya langsung menunjuk-nunjuk kepala Sapi sambil teriak-teriak ga jelas.
Mengetahui si pelaku 'nyaris' tabrak lari adalah daftar TO pecinta sepakbola se-Tanah Air, Sapi langsung gembira.
"Ini dia Nurdin si biang kerok sepakbola, awas kau," kata Sapi.
Segera dipanggil teman-temannya untuk menangkap. Selang dua menit, Semut, Kucing, Anjing, dan Tapir pun datang. Nurdin ketakutan melihat rombongan ini datang, segera dirinya berbaik sapa karena takut kena toyor.
"Ampun bapak-bapak. Saya jangan dimassa," katanya memelas.
"Siapa yang mau mukulin anda. Kami mau ajak anda ke Walminthi," kata Semut.
"Disana kita main petak umpet, tempatnya aman. Tidak ada demonstrasi," imbuh Tapir.
Membaca situasi Jakarta dan kota-kota besar yang tidak kondusif lagi untuknya, segera diterima ajakan ke Walminthi. Bertujuh mereka masuk dalam sedan Accord putih, meluncur menyusur jalan yang tidak banyak diketahui orang.
*besok nyambung lagi ya...
Mengendarai sedan Accord putih keluaran 2011, kemarin sore 'nyaris' Ketua PSSI Nurdin Halid melarikan diri dari kediamannya. Bersama supir pribadi, hampir setengah hari Nurdin berputar-putar di Bundaran HI lantaran hampir seluruh jalan ibukota diblokir ribuan pendemo yang menuntut mundur dirinya.
Beberapa jam mencari jalan keluar, akhirnya sedan putihnya berhasil mendapat jalan keluar, menyusur jalan kampung. Masuk sebuah gang tikus, si sopir tiba-tiba menginjak rem, otomatis Nurdin kaget. Mobil koruptor proyek impor gula dan beras ini nyaris menabrak Sapi.
Dua detik kemudian, kap depan mobilnya langsung digebrak Sapi. Serentetan kata langsung mengalir deras dari mulut.
"Taruh dimana matamu, ga liat orang nyebrang jalan po?!" teriak Sapi sambil berkacak pinggang sembari menggebrak kap mobil dengan kaki depannya.
Tak terima diteriaki, Nurdin bergegas keluar dan menantang berkelahi Sapi. Tangannya langsung menunjuk-nunjuk kepala Sapi sambil teriak-teriak ga jelas.
Mengetahui si pelaku 'nyaris' tabrak lari adalah daftar TO pecinta sepakbola se-Tanah Air, Sapi langsung gembira.
"Ini dia Nurdin si biang kerok sepakbola, awas kau," kata Sapi.
Segera dipanggil teman-temannya untuk menangkap. Selang dua menit, Semut, Kucing, Anjing, dan Tapir pun datang. Nurdin ketakutan melihat rombongan ini datang, segera dirinya berbaik sapa karena takut kena toyor.
"Ampun bapak-bapak. Saya jangan dimassa," katanya memelas.
"Siapa yang mau mukulin anda. Kami mau ajak anda ke Walminthi," kata Semut.
"Disana kita main petak umpet, tempatnya aman. Tidak ada demonstrasi," imbuh Tapir.
Membaca situasi Jakarta dan kota-kota besar yang tidak kondusif lagi untuknya, segera diterima ajakan ke Walminthi. Bertujuh mereka masuk dalam sedan Accord putih, meluncur menyusur jalan yang tidak banyak diketahui orang.
*besok nyambung lagi ya...
selamat minum kopi mocca, Mubarak
Balas dendam, itu yang mau saya lakukan atas kerugian yang dibuat Mubarak satu minggu kemarin. Kopi mocca seribu rupiah yang hilang kemarin tampaknya mendapat ganti Jumat (11/2) dini hari ini. Atau minima saya bisa bernafas tenang karena minuman secangkir itu efektif, pak presiden Mesir ga bisa tidur akibat minuman .
Bagaimana mau tidur, ratusan ribu orang menunggu di depan pintu istana. Apa dia bisa tidur kalau diteriaki orang sak ndayak keceh kayak gitu...... Paling tidak kopi mocca yang diambilnya minggu kemarin efektif bikin ga bisa tidur satu minggu belakangan.
Kali ini kopi mocca secangkir saya ikhlaskan, silakan bapak presiden minum tidak mengapa. Kalau masih kurang pak presiden bilang saja. Perlu lima bungkus lagi, dengan senang hati akan saya belikan. Asal jangan minta satu drum saja, soalnya duit belum cukup alias eman-eman....
Kali ini presiden Mesir dapat giliran kopi mocca gratis. Dalam waktu dekat presiden negara saya bakalan dapat juga gratisan kopi.....lima gelas langsung, tunggu saja, hahaha
Minggu Lalu
Gara-gara Mubarak saya merugi, gara-gara dia juga gelas jatah malam ini melayang.
Sekitar empat hari yang lalu (mungkin), berita beredar menyebut gejolak di Mesir selesai Jumat (4/1). Banyak orang (mungkin) penasaran, sedemikan panjang kah umur pemerintahan H Mubarak atau sedemikian pendek kah nyali miler disana?
Menjawab penasaran, sengaja malam kemarin, mata menunggu berita media pantau inet, lumayan ngantuk juga sebenarnya saat itu, kepala berat karena tidak ada kopi hanya torabika mocca secangkir.
Waktu telah mendekati pukul 12.00, tanda-tanda tak kunjung muncul. Kembali tergerak pertanyaan, aksi proletariat apakah berhasil?
Gelas isi kopi mocca hampir habis, telepon genggam bergetar, kabar dari sahabat. Satu jam bicara lupa pantau Mubarak.
Mata rupanya tak sejalan dengan pikir, tubuh berakhir tergeletak dengan mata tertutup. Dan memang badak kingkong tenan...segelas kopi mocca dini hari tadi terpaksa melayang untuk Mubarak.
Saya rugi satu gelas kopi mocca, saya rugi seribu rupiah, tlendoke tenaaaan...
Bagaimana mau tidur, ratusan ribu orang menunggu di depan pintu istana. Apa dia bisa tidur kalau diteriaki orang sak ndayak keceh kayak gitu...... Paling tidak kopi mocca yang diambilnya minggu kemarin efektif bikin ga bisa tidur satu minggu belakangan.
Kali ini kopi mocca secangkir saya ikhlaskan, silakan bapak presiden minum tidak mengapa. Kalau masih kurang pak presiden bilang saja. Perlu lima bungkus lagi, dengan senang hati akan saya belikan. Asal jangan minta satu drum saja, soalnya duit belum cukup alias eman-eman....
Kali ini presiden Mesir dapat giliran kopi mocca gratis. Dalam waktu dekat presiden negara saya bakalan dapat juga gratisan kopi.....lima gelas langsung, tunggu saja, hahaha
Minggu Lalu
Gara-gara Mubarak saya merugi, gara-gara dia juga gelas jatah malam ini melayang.
Sekitar empat hari yang lalu (mungkin), berita beredar menyebut gejolak di Mesir selesai Jumat (4/1). Banyak orang (mungkin) penasaran, sedemikan panjang kah umur pemerintahan H Mubarak atau sedemikian pendek kah nyali miler disana?
Menjawab penasaran, sengaja malam kemarin, mata menunggu berita media pantau inet, lumayan ngantuk juga sebenarnya saat itu, kepala berat karena tidak ada kopi hanya torabika mocca secangkir.
Waktu telah mendekati pukul 12.00, tanda-tanda tak kunjung muncul. Kembali tergerak pertanyaan, aksi proletariat apakah berhasil?
Gelas isi kopi mocca hampir habis, telepon genggam bergetar, kabar dari sahabat. Satu jam bicara lupa pantau Mubarak.
Mata rupanya tak sejalan dengan pikir, tubuh berakhir tergeletak dengan mata tertutup. Dan memang badak kingkong tenan...segelas kopi mocca dini hari tadi terpaksa melayang untuk Mubarak.
Saya rugi satu gelas kopi mocca, saya rugi seribu rupiah, tlendoke tenaaaan...
kopi mocca'nya Mubarak
Gara-gara Mubarak saya merugi, gara-gara dia juga gelas jatah malam ini melayang.
Sekitar empat hari yang lalu (mungkin), berita beredar menyebut gejolak di Mesir selesai Jumat (4/1). Banyak orang (mungkin) penasaran, sedemikan panjang kah umur pemerintahan H Mubarak atau sedemikian pendek kah nyali miler disana?
Menjawab penasaran, sengaja malam kemarin, mata menunggu berita media pantau inet, lumayan ngantuk juga sebenarnya saat itu, kepala berat karena tidak ada kopi hanya torabika mocca secangkir.
Waktu telah mendekati pukul 12.00, tanda-tanda tak kunjung muncul. Kembali tergerak pertanyaan, aksi proletariat apakah berhasil?
Gelas isi kopi mocca hampir habis, telepon genggam bergetar, kabar dari sahabat. Satu jam bicara lupa pantau Mubarak.
Mata rupanya tak sejalan dengan pikir, tubuh berakhir tergeletak dengan mata tertutup. Dan memang badak kingkong tenan...segelas kopi mocca dini hari tadi terpaksa melayang untuk Mubarak.
Saya rugi satu gelas kopi mocca, saya rugi seribu rupiah, tlendoke tenaaaan...
Sekitar empat hari yang lalu (mungkin), berita beredar menyebut gejolak di Mesir selesai Jumat (4/1). Banyak orang (mungkin) penasaran, sedemikan panjang kah umur pemerintahan H Mubarak atau sedemikian pendek kah nyali miler disana?
Menjawab penasaran, sengaja malam kemarin, mata menunggu berita media pantau inet, lumayan ngantuk juga sebenarnya saat itu, kepala berat karena tidak ada kopi hanya torabika mocca secangkir.
Waktu telah mendekati pukul 12.00, tanda-tanda tak kunjung muncul. Kembali tergerak pertanyaan, aksi proletariat apakah berhasil?
Gelas isi kopi mocca hampir habis, telepon genggam bergetar, kabar dari sahabat. Satu jam bicara lupa pantau Mubarak.
Mata rupanya tak sejalan dengan pikir, tubuh berakhir tergeletak dengan mata tertutup. Dan memang badak kingkong tenan...segelas kopi mocca dini hari tadi terpaksa melayang untuk Mubarak.
Saya rugi satu gelas kopi mocca, saya rugi seribu rupiah, tlendoke tenaaaan...
baju lusuh itu beda?
Mempelajari identitas, mungkin bisa membaca literatur pemikiran Spinoza. Namun sebelumnya ada peringatan bahwa belajar filsafat mungkin berakibat pusing, mungkin juga seteres (katanya). Peringatan lainnya, kalau nulis tentang Spinoza bisa bikin botak, jadi nulis yang lain aja karena eman-eman rambut.
Identitas yang melekat dalam diri seorang anak adalah senyum ceria. Cara pandang ini bukanlah salah, karena sudah sewajarnya seperti itu. Namun tak semua anak sama.
Berjalan sebentar di Kota Jambi, tepatnya di Pasar Angso Duo, pikiran bahkan mungkin dada kita akan bedegup. Mata kita pasti terpicing melihat anak-anak kecil usia sekolah ikut bekerja mengupas bawang, mencari ikan, atau menjual pempek keliling.
Arief (11), siang kemarin tengah duduk di sebuah sudut di pasar tradisional terbesar di Jambi, dengan pakaian lusuh. Senyum menghias wajah pelajar sekolah dasar ini ketika saya menyapanya.
"Sedang ngapain?" tanyaku menyapa sambil berkenalan. Tanpa merasa sungkan, dia memperkenalkan diri, kemudian obrolan mengalir, menceritakan apa yang sedang dilakukannya.
Mental yang kuat. Pelajar SD ini berbicara tanpa melirik mata lawan bicara, mungkin karena segan bicara dengan orang tak dikenalnya. Sebuah isyarat mata itu merupakan penanda dirinya tak ambil peduli kehadiran orang lain.
Dengan tatapan jauh ke arah lapak-lapak, anak lelaki berbadan cokelat ini bercerita kebiasaannya seusai pulang sekolah, mencari ikan. Mencari ikan di dalam pasar, tepatnya di selokan-selokan. Kalau tidak begitu, bersama teman dia akan memancing di sungai atau rawa.
Lantas untuk apa memancing? "Kasih ke mamak (untuk lauk). Kalau banyak di jual," ujarnya.
Jawaban itu tentu membuat terhenyak. Apalagi ketika mengetahui tak banyak hasilnya kalau ikan jual. Ketika saya menghitung, dalam sebulan tak sampai dua ratusan ribu didapat.
Biasanya sampai sore aktivitas itu dilakukan.
Dari mulut anak berbaju yang tak lagi bersih ini, apa yang dilakukan menurutnya adalah hal biasa. Tanpa pernah berpikir, anak seusianya sewajarnya bermain di jam-jam itu. "Kito kadang jugo bermain, bang kalau di dalam (pasar)," katanya menjawab pertanyaan kenapa tidak bermain saja dengan teman sepantaran di rumahnya di daerah Legok.
Bukan satu dua anak saja yang melakukan aktivitas seperti itu. Kepala SD Pertiwi, Rosmaidar mengatakan ada sekitar 10 dari keseluruhan 320 anak didiknya yang setiap hari membantu orang tua mencari uang.
"Ada pengupas bawang, asongan, juga jualan makanan," tutur Rosmaidar.
Ros mengatakan apa yang dilakukan muridnya (bekerja) bukanlah beban. "Mereka melakukan biasa saja. Tidak beban, tidak malu," kata kepsek berusia 61 tahun ini.
"Setiap pulang sekolah mereka ke pasar (Angso Duo). Begitulah," lanjutnya.
Tanpa bermaksud membuat berkecil hati anak muridnya, Ros mengatakan beberapa anak memang dari keluarga kurang mampu. Terpaksa mereka bekerja seusai sekolah.
"Keadaan yang mengharuskan begitu. Guru hanya bisa mendorong semampunya," jelasnya.
Di SMP Pertiwi pun sama. Sekolah yang kelasnya masuk siang ini, siswa ada yang bekerja di pasar ketika pagi.
Bagi pengajar berkacamata ini, anak-anak seusia Arief seharusnya berhak mendapat kebahagiaan dan pendidikan.
Ketika anak diajukan pilihan antara bekerja atau bermain-main, menurutnya tentu pilihan anak tidak akan jatuh ke bekerja.
Beda
Membedakan siswa mampu dan kurang mampu caranya cukup mudah. Guru pengajar di sekolah itu, Aziza Firhat mengatakan, dalam pergaulan anak muridnya tidak ada rasa minder. Secara mentalitas, semua murid sulit dibedakan.
Namun membedakan murid yang kurang mampu dengan yang mampu cukuplah mudah. Hanya cukup dengan pandangan mata saja.
"Bajunya tidak sebagus anak-anak lainnya," kata Aziza.
Di Hari Anak Nasional kemarin, Rosmaidar, pengajar yang telah bertatap muka selama 41 tahun dengan anak murid ini hanya berpesan, anak-anak murid harus optimistis. Pendidikan tidak diukur dari mampu tidaknya ekonomi keluarga, melainkan kecerdasan.
Identitas yang melekat dalam diri seorang anak adalah senyum ceria. Cara pandang ini bukanlah salah, karena sudah sewajarnya seperti itu. Namun tak semua anak sama.
Berjalan sebentar di Kota Jambi, tepatnya di Pasar Angso Duo, pikiran bahkan mungkin dada kita akan bedegup. Mata kita pasti terpicing melihat anak-anak kecil usia sekolah ikut bekerja mengupas bawang, mencari ikan, atau menjual pempek keliling.
Arief (11), siang kemarin tengah duduk di sebuah sudut di pasar tradisional terbesar di Jambi, dengan pakaian lusuh. Senyum menghias wajah pelajar sekolah dasar ini ketika saya menyapanya.
"Sedang ngapain?" tanyaku menyapa sambil berkenalan. Tanpa merasa sungkan, dia memperkenalkan diri, kemudian obrolan mengalir, menceritakan apa yang sedang dilakukannya.
Mental yang kuat. Pelajar SD ini berbicara tanpa melirik mata lawan bicara, mungkin karena segan bicara dengan orang tak dikenalnya. Sebuah isyarat mata itu merupakan penanda dirinya tak ambil peduli kehadiran orang lain.
Dengan tatapan jauh ke arah lapak-lapak, anak lelaki berbadan cokelat ini bercerita kebiasaannya seusai pulang sekolah, mencari ikan. Mencari ikan di dalam pasar, tepatnya di selokan-selokan. Kalau tidak begitu, bersama teman dia akan memancing di sungai atau rawa.
Lantas untuk apa memancing? "Kasih ke mamak (untuk lauk). Kalau banyak di jual," ujarnya.
Jawaban itu tentu membuat terhenyak. Apalagi ketika mengetahui tak banyak hasilnya kalau ikan jual. Ketika saya menghitung, dalam sebulan tak sampai dua ratusan ribu didapat.
Biasanya sampai sore aktivitas itu dilakukan.
Dari mulut anak berbaju yang tak lagi bersih ini, apa yang dilakukan menurutnya adalah hal biasa. Tanpa pernah berpikir, anak seusianya sewajarnya bermain di jam-jam itu. "Kito kadang jugo bermain, bang kalau di dalam (pasar)," katanya menjawab pertanyaan kenapa tidak bermain saja dengan teman sepantaran di rumahnya di daerah Legok.
Bukan satu dua anak saja yang melakukan aktivitas seperti itu. Kepala SD Pertiwi, Rosmaidar mengatakan ada sekitar 10 dari keseluruhan 320 anak didiknya yang setiap hari membantu orang tua mencari uang.
"Ada pengupas bawang, asongan, juga jualan makanan," tutur Rosmaidar.
Ros mengatakan apa yang dilakukan muridnya (bekerja) bukanlah beban. "Mereka melakukan biasa saja. Tidak beban, tidak malu," kata kepsek berusia 61 tahun ini.
"Setiap pulang sekolah mereka ke pasar (Angso Duo). Begitulah," lanjutnya.
Tanpa bermaksud membuat berkecil hati anak muridnya, Ros mengatakan beberapa anak memang dari keluarga kurang mampu. Terpaksa mereka bekerja seusai sekolah.
"Keadaan yang mengharuskan begitu. Guru hanya bisa mendorong semampunya," jelasnya.
Di SMP Pertiwi pun sama. Sekolah yang kelasnya masuk siang ini, siswa ada yang bekerja di pasar ketika pagi.
Bagi pengajar berkacamata ini, anak-anak seusia Arief seharusnya berhak mendapat kebahagiaan dan pendidikan.
Ketika anak diajukan pilihan antara bekerja atau bermain-main, menurutnya tentu pilihan anak tidak akan jatuh ke bekerja.
Beda
Membedakan siswa mampu dan kurang mampu caranya cukup mudah. Guru pengajar di sekolah itu, Aziza Firhat mengatakan, dalam pergaulan anak muridnya tidak ada rasa minder. Secara mentalitas, semua murid sulit dibedakan.
Namun membedakan murid yang kurang mampu dengan yang mampu cukuplah mudah. Hanya cukup dengan pandangan mata saja.
"Bajunya tidak sebagus anak-anak lainnya," kata Aziza.
Di Hari Anak Nasional kemarin, Rosmaidar, pengajar yang telah bertatap muka selama 41 tahun dengan anak murid ini hanya berpesan, anak-anak murid harus optimistis. Pendidikan tidak diukur dari mampu tidaknya ekonomi keluarga, melainkan kecerdasan.
Langganan:
Postingan (Atom)