Jumat, 23 September 2011

baju lusuh itu beda?

Mempelajari identitas, mungkin bisa membaca literatur pemikiran Spinoza. Namun sebelumnya ada peringatan bahwa belajar filsafat mungkin berakibat pusing, mungkin juga seteres (katanya). Peringatan lainnya, kalau nulis tentang Spinoza bisa bikin botak, jadi nulis yang lain aja karena eman-eman rambut.

Identitas yang melekat dalam diri seorang anak adalah senyum ceria. Cara pandang ini bukanlah salah, karena sudah sewajarnya seperti itu. Namun tak semua anak sama.

Berjalan sebentar di Kota Jambi, tepatnya di Pasar Angso Duo, pikiran bahkan mungkin dada kita akan bedegup. Mata kita pasti terpicing melihat anak-anak kecil usia sekolah ikut bekerja mengupas bawang, mencari ikan, atau menjual pempek keliling.

Arief (11), siang kemarin tengah duduk di sebuah sudut di pasar tradisional terbesar di Jambi, dengan pakaian lusuh. Senyum menghias wajah pelajar sekolah dasar ini ketika saya menyapanya.

"Sedang ngapain?" tanyaku menyapa sambil berkenalan. Tanpa merasa sungkan, dia memperkenalkan diri, kemudian obrolan mengalir, menceritakan apa yang sedang dilakukannya.

Mental yang kuat. Pelajar SD ini berbicara tanpa melirik mata lawan bicara, mungkin karena segan bicara dengan orang tak dikenalnya. Sebuah isyarat mata itu merupakan penanda dirinya tak ambil peduli kehadiran orang lain.

Dengan tatapan jauh ke arah lapak-lapak, anak lelaki berbadan cokelat ini bercerita kebiasaannya seusai pulang sekolah, mencari ikan. Mencari ikan di dalam pasar, tepatnya di selokan-selokan. Kalau tidak begitu, bersama teman dia akan memancing di sungai atau rawa.

Lantas untuk apa memancing? "Kasih ke mamak (untuk lauk). Kalau banyak di jual," ujarnya.

Jawaban itu tentu membuat terhenyak. Apalagi ketika mengetahui tak banyak hasilnya kalau ikan jual. Ketika saya menghitung, dalam sebulan tak sampai dua ratusan ribu didapat.

Biasanya sampai sore aktivitas itu dilakukan.

Dari mulut anak berbaju yang tak lagi bersih ini, apa yang dilakukan menurutnya adalah hal biasa. Tanpa pernah berpikir, anak seusianya sewajarnya bermain di jam-jam itu. "Kito kadang jugo bermain, bang kalau di dalam (pasar)," katanya menjawab pertanyaan kenapa tidak bermain saja dengan teman sepantaran di rumahnya di daerah Legok.

Bukan satu dua anak saja yang melakukan aktivitas seperti itu. Kepala SD Pertiwi, Rosmaidar mengatakan ada sekitar 10 dari keseluruhan 320 anak didiknya yang setiap hari membantu orang tua mencari uang.

"Ada pengupas bawang, asongan, juga jualan makanan," tutur Rosmaidar.

Ros mengatakan apa yang dilakukan muridnya (bekerja) bukanlah beban. "Mereka melakukan biasa saja. Tidak beban, tidak malu," kata kepsek berusia 61 tahun ini.

"Setiap pulang sekolah mereka ke pasar (Angso Duo). Begitulah," lanjutnya.

Tanpa bermaksud membuat berkecil hati anak muridnya, Ros mengatakan beberapa anak memang dari keluarga kurang mampu. Terpaksa mereka bekerja seusai sekolah.

"Keadaan yang mengharuskan begitu. Guru hanya bisa mendorong semampunya," jelasnya.

Di SMP Pertiwi pun sama. Sekolah yang kelasnya masuk siang ini, siswa ada yang bekerja di pasar ketika pagi.

Bagi pengajar berkacamata ini, anak-anak seusia Arief seharusnya berhak mendapat kebahagiaan dan pendidikan.

Ketika anak diajukan pilihan antara bekerja atau bermain-main, menurutnya tentu pilihan anak tidak akan jatuh ke bekerja.

Beda
Membedakan siswa mampu dan kurang mampu caranya cukup mudah. Guru pengajar di sekolah itu, Aziza Firhat mengatakan, dalam pergaulan anak muridnya tidak ada rasa minder. Secara mentalitas, semua murid sulit dibedakan.

Namun membedakan murid yang kurang mampu dengan yang mampu cukuplah mudah. Hanya cukup dengan pandangan mata saja.

"Bajunya tidak sebagus anak-anak lainnya," kata Aziza.

Di Hari Anak Nasional kemarin, Rosmaidar, pengajar yang telah bertatap muka selama 41 tahun dengan anak murid ini hanya berpesan, anak-anak murid harus optimistis. Pendidikan tidak diukur dari mampu tidaknya ekonomi keluarga, melainkan kecerdasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar