Senin, 11 Mei 2009

CAH-CUH BERITA DI MEDIA

Cah-cuh meneh ah…

Seminggu ini pertarungan politik di elit atas semakin panas. Bursa capres dan wapres muncul di headline surat kabar, tak terkecuali perang dengan babi yang menyerang lewat flu-nya. Tak kalah seru juga Antasari yang jadi selebritas media massa dengan dagelan penembakan Nasrudin dan tragedy di balik layar hole in one-nya dengan caddy golf Rani Juliani. Dan kemudian berita ADB juga cukup booming.

Saat pemilu mulai menimbulkan serangkaian buntut masalah yang belum selesai, tak di duga-tak disangka, seperti hujan kemarin malam, muncul geledek yang memekakkan telinga yang berakibat kita lupa ingatan, lupa akan pemilu yang bermasalah. Di media muncul berita perselingkuhan yang diakhiri penembakan dengan melibakan laki-laki pejabat dan perempuan cantik. Dari pengamatan saya terhadap teman-teman dan percakapan dengan orang yang saya jumpai di jalan ternyata masyarakat lebih suka menyimak berita-berita yang ringan dan tidak masuk dalam ranah rasio seperti : perselingkuhan pejabat dibanding concern pada masalah ekonomi social politik. Itu terbukti, dibanding berita ADB, berita AA jauh lebih popular.

Minggu lalu saat menunggu kereta Pramex., saya berbincang dengan seorang mahasiswi Fisip UGM, pertama coba saya masuk dengan sapaan ringan, setelah ada respon yang baik kemudian kami berbincang. Obrolan kami mengalir dari seputar kost-kostan, kota Jogja, kereta Pramex sampai berita koran. Ada beberapa hal yang bagi saya menarik dalam percakapan. Karena berasal dari jurusan komunikasi (jurusan idaman saya saat UMPTN tapi gagal) saya pikir dia pasti mengikuti perkembangan berita media. Dia bertanya apakah saya tahu berita AA, saya jawab singkat bahwa saya tahu sebatas berita koran, akan tetapi tidak menyimak dan kemudian dia bercerita tentang kasus AA. Teman saya ini tahu benar dan mengikuti perkembangan tentang kasus AA. Dalam kasus AA ini dia memberikan pendapat dan analisanya dalam kisah perselingkuhan AA dengan Rani, bukan pada analisa di ranah ekonomi eko-sos-pol nya. Dari nada bicara dan mimik wajahnya, sebagai wakil kaum feminis dia tersinggung dengan kasus-kasus di Indonesia yang selalu menjadikan perempuan sebagai korban. Sesaat saya terpukau menyukai cara dia berbicara, bahasa tangannya pun juga hidup dan bergerak lincah mengimbangi kalimat yang meluncur dari mulut. Dalam penutup dia bertanya kepada saya apakah perempuan memang mempunyai nilai beda/distingtif dan mempunyai sisi menarik untuk dijual oleh media??? Saya bingung maksud pertanyaan itu, tapi saya coba jawab kalau stereotip perempuan adalah cantik dan berkisar dalam keindahan, akan tetapi dalam posisinya selalu dalam posisi pinggir dan bukan sentral. Dalam kasus AA, dia hanya menjadi pelengkap bumbu berita saja, yang dijual ya cantiknya si Rani saja menurut saya.

Hamper setengah jam kami ngobrol, daripada sendirian mending ngerokok plus ditemani seorang perempuan pintar dan cantik. Pembicaraan kami mengalir menuju ADB, obrolan jadi tersendat, begitupun ketika saya coba masuk dalam pembicaraan ketimpangan dan kemiskinan structural, utang luar negeri sampai masalah demokrasi, yang nyambung hanya bahasan demokrasi. Dalam hati saya kagum sudah kuliahnya UGM, pinter, cantik, cuma satu kurangnya dia kurang respek dengan berita-berita yang tidak seksis. Karena masih ingin ngobrol dengan dia lagi, akhirnya saya potong pembicaraan ADB, hehehe kapan lagi dapat kesempatan ngobrol dengan kembarannya Dian Sastro….hahahahahha

Dalam percakapan singkat sebelum kereta datang, dia sempat bilang bahwa isu ada berbagai jenis dan tingkatan alias diatas isu masih ada isu, artinya isu ada kadar kehebohannya. Dari situ saya berpikir, pembaca mungkin lebih suka berita yang seksis (baca:menarik/unik) dan secara kebetulan (baca:mungkin) kasus AA adalah unik, walaupun sebenarnya tidak kalah unik juga berita dan fakta bahwa Indonesia terjebak utang luar negeri.

Ini memang wajar, akan tetapi saya punya sudut pandang lain dalam kasus AA. Maksud saya begini, dalam kasus ini seorang pejabat berani mengambil resiko menjalin hubungan asmara dengan orang yang notabene dari golongan ekonomi yang jauh di bawahnya. Yang menarik bagi saya dalam kasus ini ketua KPK ada fair dengan karyawan biasa. Menurut saya ini bagus dan merupakan sebuah terobosan baru. Seorang pejabat tidak harus “bermain-main/ada fair” dengan orang golongan pejabat dalam level ekonomi sama, dia bisa berhubungan/beristeri dengan masyarakat biasa (baca:tidak terkait hubungan poltik). Akan tetapi dalam itu harus sesuai aturan hokum serta norma di masyarakat. Hal ini sangat dasyat bila benar terjadi. Bayangkan dalam kejadian lain teman-teman, presiden bisa mempunyai istri petani, bupati suaminya tukang becak, Walikota tidak beristri/bersuami pengusaha dsb, akan tetapi dengan penjual lotere. Anggota DPRD beristerikan seorang PSK. Apabila ini benar terjadi, mungkin masalah ekonomi indonesia tidaklah serumit sekarang atau minimal masalah kemiskinan structural yang melekat di tubuh perekonomian negara kita sedikit terlupakan dengan adanya hal diatas…hehehe(smoga teman-teman tidak pernah lupa masalah itu).

Dunia akan jadi sangat berwarna bila ini terjadi, seperti Tuhan yang menciptakan manusia itu setara, saling melengkapi, sangatlah indah bila itu terjadi. Ini sekedar cah-cuh dan gojekan saja……dari saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar