GARA-GARA NYASAR
Energi = Pangan = makanan = lapar/luwe = uang = daya beli= kerja = lapangan kerja = system = ???=nyasar=kuburan
Nyasar di kuburan
Kemarin malam saya puter-puter pinggiran kota Solo untuk mengantar undangan. Dari sore hari sebelum pukul enam sore berangkat, dan pulang ke rumah lagi agak malam. Di antara rasa malas karena tidak ada teman untuk di ajak dan diri saya yang penakut saya putuskan berangkat sendirian.
Wilayah sasaran pertama adalah solo bagian barat. Motor saya geber kecepatan penuh, karena cuaca sekarang sulit di tebak (maklum alam sudah rusak nih…antara musim panas dan hujan sama kacaunya), saya malas kehujanan. Pertama masuk di kawasan tersebut saya langsung bingung dan kaget. Terakhir lewat daerah itu sekitar dua tahun lalu dan masih berupa kawasan hijau persawahan. Huff….beberapa kali saya nyasar. Setelah kurang lebih satu jam apa yang terjadi??? hahaha…..akhirnya undangan masih di tangan dan sukses belum sampai ke tujuan.
Masuk ke tahap kedua menjelajah kawasan timur solo. Petualangan di kawasan ini tak kalah seru. Selepas jembatan Jurug, kira-kira lima ratus meter, saya langsung belok kiri dan mencari alamat yang dituju. Saya merasa yakin tahu jalan, tapi kenyataan berkata lain. Saya “dipaksa” bertanya kepada orang alamat tersebut, padahal pernah beberapa kali ke alamat tersebut. Dua puluh menit dan dapat bernafas lega, alamat dapat di temukan. Ternyata perumahan yang dulu kecil telah mengalami perkembangan hingga kira-kira lima kali lipat dari luas semula (hahaha…..maju juga daerah ini???)
Petualangan belum berakhir...
Beranjak pulang, saya berniat lewat jalan yang sama seperti saat berangkat, tapi rasa takut dan kelamnya malam berhasil menggagalkan tajamnya mata untuk bekerja sama memori otak untuk menelusur jalan pulang. Motor saya pacu perlahan, jalan semakin sepi dan gelap ditambah perasaan saya jadi tidak enak, beberapa kali saya melirik jam, dan waktu sudah pukul setengah sepuluh malam. Sesaat setelah melirik jam tangan, lampu motor menangkap bayangan kotak panjang berjejer-jejer. Setelah bejarak kira-kira sepuluh meter, saya berteriak “uas……u…!!!” Motor otomatis berhenti karena rem saya injak reflek, motor saya putar arah dan langsung tancap gas secepatnya, degup jantung semakin cepat siantara tarikan nafas yang tersengal…..ternyata saya telah masuk kawasan pekuburan…..huaffff, uasem…..apes tenan!!!
Tanah, Masyarakat dan Kearifan Lokal
Bangsa Indonesia memiliki khazanah kearifan local yang berkaitan dengan masalah pangan. Salah satunya terekam dalam cerita rakyat. Di kalangan masyarakat Jawa “Dewi Sri” merupakan sebuah mitos yang mendaging dalam tubuh masyarakat. Manifestasi mitos masih bertahan hingga kini dalam sebuah tradisi. Era globalisasi, yang memaksa pandangan masyarakat berada dalam arus modern, diluar dugaan masih berbaik hati (baca : belum mampu memusnahkan) menyisakan warisan tradisi kearifan lokal.
Dalam filosofi masyarakat Jawa tentang kehidupan, khususnya bagi masyarakat agraris. Dewi Sri atau Dewi Padi mempunyai peran penting. Kepercayaan akan tercapainya keseimbangan kosmos selalu ada di benak masyarakat pedesaan yang tradisional. Kesadaran bersama akan tempat dan kehidupan bersama telah ada sejak lama. Masyarakat Jawa yang secara historis merupakan masyarakat agraris sangat menghormati alam “Dewi Kesuburan (Dewi Sri) merupakan sebuah mitologi Jawa yang menggambarkan asal mula padi sebagai sumber kehidupan manusia.
Berkaitan dengan sikap hidup masyarakat Jawa agraris tersebut, penghormatan Dewi Sri juga dimanifestasikan dalam upacara adat, bersih desa. Bersih desa upacara adat masyarakat Jawa (agraris), atau merupakan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha kuasa atas panen yang telah diterima. Mitos yang membungkus kearifan lokal ini telah mengakar dalam kultur masyarakat jawa, terkhusus yang hidup dalam lingkungan agraris.
Saat itu masyarakat tradisional mungkin belum berpikir tentang ekologi secara mendalam. Mitos yang selalu mengajarkan keseimbangan alam masih dilihat dalam sudut pandang kosmos., padahal sebenarnya hal tersebut secara langsung mengajarkan kita tentang ekologi. Ketika keseimbangan system ekologi terganggu atau rusak dampaknya sangat hebat, dari ketersediaan pangan, ketahanan pangan dan sampai keberlangsungan hidup manusia. Coba kita bayangkan dunia tanpa pangan (baca:sumber pangan mahal)
Teman Saya dan Sebuah Pilihan
Dalam suatu waktu saya bertemu dengan seorang teman lama. Layaknya kawan yang lama tak berjumpa, cerita dan pertanyaan mengalir deras. Beliau bercerita cukup lengkap satu persatu teman yang masih kontak denganya. Sampai pada kabar seorang teman, anak tekhnik angkatan ’97, saya kaget, dia mengatakan teman saya ini telah menjadi petani dan memutuskan meninggalkan tuntutan serta hiruk pikuk kuliah. Belum lagi saya terdiam karena kaget, teman saya berkata “mesti koe ra percoyo, Dul!!!”, dan saya masih terdiam. Dalam sepengetahuan saya, teman ksmi ini cerdas dalam akademik, walaupun tidak mati dalam membaca situasi sosial-kemasyarakatan yang ada di tataran lokal sampai internasional. Saya di buat heran kagum sekaligus berpikir dalam saat itu juga tentang pilihan hidupnya.
Sulit menemukan panggilan hidup seperti tersebut diatas dalam situasi dan kehidupan modern dan abstrak dan kontemporer saat ini. Seperti sebuah pepatah, jangan memilih kalau tidak berani menjawab konsekuensi, kalau dia tidak siap di cap sebagai orang aneh dia tidak akan menjadi petani (walau dengan kemampuan tekhnik informatika tingkat cerdas).
Masyarakat Modern
Dunia musik tak ubahnya bunglon, sangat adaptif dan cepat sekali merespon perubahan. Dalam kurang dari dua minggu selalu ada trend musik baru (liat aja tayangan musik di tipi-tpi kalau nggak percaya….)
Tau lagu dangdut ngga?Haha….salah satu penyayi, Ridho yang notabene anak wak haji Roma muncul dengan trend baru, dangdut metal!!!
Wah jadi inget Roma irama ni….dengan lagunya “judi”….trus ada lagu “rupiah” yang jaman bapak saya muda dulu sempat booming. Dalam lagu rupiah tersebut orang mau melakukan apa saja demi uang.
Georg Simmel, sosiolog Jerman, skeptis terhadap modernisasi, yang namanya kalah tenar dari Webber, karena jarang muncul di tipi mengatakan uang adalah nilai segala sesuatu, karena telah merampas nilai segala sesuatu yang ada di dunia baik dunia manusia maupun alam. Interaksi manusia di dunia ditentukan oleh uang, dari bagaimana manusia masuk dalam kelompokny kemudian memperoleh status. Dan mungkin sampai dia mati-pun akan di tentukan oleh uang.
Mau bukti???hehe….lihat saja status orang berduit dalam sebuah lingkungan kampung dibandingkan tukang becak, lebih terhormat kan, saat mengambil peran dalam aktivitas socialpun sama juga akibatnya, dia akan dominan, dalam aktivitas politikpun apalagi, lihat saja caleg yang kebanyakan dari kalangan berduit, banyak suara tuh….!!!. Jadi dalam masyarakat modern budaya uang adalah salah satu factor yang mempercepat seseorang kehilangan jati dirinya dalam interaksi social. Oh iya….bahkan sampai dengan seseorang mati dan di makamkan pun, kalau dia tidak punya keluarga yang membayar tanah, makamnya bakalan kena gusur juga, sama persis kayak satpol PP menggusur PKL. Huff…masyarakat modern yang kehilangan jati diri….serem tuh….huff….
Pembangunanisme
Pembangunan yang kita kenal saat ini, sebenarnya merupakan warisan dari orde baru yang menerapkan model kapitalisme negara. Model pembangunan ini muncul pada tahun 1930-an, dengan berada di garis mahzab Keynesian, yang kemudian akan mengilhami paham modernisme. Teori Keynesian oleh Rostow di kembangkan jadi teori pertumbuhan, dengan mengacu bahwa masyarakat akan berkembang dari tradisional, lalu pra industri, tinggal landas, lalu masyarakat industri dan akhirnya menuju masyarakat serba kecukupan/high mass consumption. Di Indonesia teori ini di adopsi dalam bentuk Repelita( di pelajaran SD sering di sebut rencana pembangunan lima tahun).
Tujuan awalnya teori pertumbuhan pembangunan ini sebenarnya untuk membendung kekuatan sosialisme. Era pembangunanisme di mulai setelah berakhirnya kolonialisme. Era ini di tandai dengan kemerdekaan negara-negara terjajah (koloni)secara fisik, akan tetapi negara penjajah tetap melakukan kontrol lewat perubahan sosial, atau dengan kata lain hegemoni/dominasi negara berubah, bukan lagi secara fisik akan tetapi lewat ideologi/cara pandang.
Modernisasi mempunyai beberapa asumsi dasar. Pertama: pembangunan di pahami bergerak dari tradisional menuju ke modern. Modernisasi dalam cara pandang barat diterjemahkan dalam perkembangan tekhnologi (industri) dan pertumbuhan ekonomi (akumulasi capital/investasi&tabungan) dengan memandang peningkatan standar hidup hanya bisa di tempuh lewat industrialisasi. Di konteks Indonesia pandangan ini yang melandasi industrialisasi.
Kembali Sawah Kita
Berawal dari pengalaman nyasar di pekuburan, saya tersadar ternyata dalam waktu singkat kota tempat saya lahir telah menjadi asing bagi saya. Perubahan terjadi dengan cepat tanpa saya ketahui. Sungguh sayang lahan hijau yang seharusnya menjadi ruang resapan air, tempat hidup ekosistem serta ruang berlangsungnya kebudayaan tergulung arus modernisasi. Gejala perubahan yang ada tersebab penataan ruang fisik dan ekonomi ternyata mempunyai dampak besar bagi manusia yang tidak mampu mengimbanginya, atau sebenarnya malah muncul problem bahwa manusia telah tergulung dalam arus di dalam modernisme. Sebenarnya ada beberapa hal yang terangkai dalam bunga rampai di atas. Tulisan ini bentuk kekagetan saya terhadap kota saya sendiri yang telah berubah dan menjadi asing bagi saya. Saya tidak mengkritik karena saya tidak berada dalam kerangka konsep yang jelas, akan tetapi yang pasti saya kecewa dikarenakan konsep perkembangan kota yang tidak jelas menjadikan saya nyasar malam-malam di kuburan, sendirian, mendung. Terimakasih, jumpa lagi di cah-cuh saya selanjutnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar